Tahun terbit : 2002 & 2003
Isi : 174 halaman
Penerbit : Media Pressindo,
Cetakan : pertama, september 2002
Kedua, April 2003
Keunggulan :
1. Diolah oleh penulisnya dengan sangat baik
2. Dari situ kita dapat membaca seketsa tragedi manusia yang terjadi dalam lingkaran pristiwa
3. Mengingatkan kita Pada saat tragedi G30S/PKI yang sangat Tragis
Kekurangan :
1. Ada beberapa bahasa yang di gunakan dalam novel ini yg tidak mudah di pahami
sinopsis:
BAGImasyarakat yang kini berusia di atas 30 tahun, pasti bisa membayangkan betapa ‘cap terlibat G30S/PKI’ bagaikan hantubergentayangan yang sangat menakutkan di zaman Orde Baru. Labelling ‘PKI’ pernah menjadikan berjuta rakyat Indonesia hidupdalam kenistaan dan kesengsaraan sebagai warga negara. Kepada mereka diberlakukan istilah politis bersih lingkungan yangsangat menghambat aktivitas dan ruang gerak.
Keluarga yang memiliki anggota terlibat apalagi tokoh G30S/PKI, akan mendapat cemoohan masyarakat dan terpinggirkan darikegiatan itu. Demikian pula anak-anak yang ketika peristiwa itu terjadi masih balita atau bahkan masih di kandungan — harusikut menanggung ‘kesalahan’ orangtuanya.
Oleh karena itu, tokoh Lastri dalam novel ini memilih mengatakan kepada dua anaknya: Mirah (tahun 1965 ketika peristiwaterjadi baru berusia 4 tahun) dan Hernowo (ketika bapaknya diculik melalui Operasi Kalong, masih dalam kandungan) — bahwabapaknya sudah meninggal. Bahkan mengganti nama dari Kardjono menjadi Supardi.
Kesengsaraan demi kesengsaraan dilukiskan melalui Lastri sebagai istri seorang komandan Angkatan Udara yang menjaditahanan politik (tapol). Kemudian meluas pada penderitaan dan tekanan batin dua anaknya. Mirah (anak perempuannya) tumbuhmenjadi gadis yang penuh gejolak, aktivis LSM yang mengkritisi kebijakan pemerintah
Dalam jalinan kisah inilah pengarang mengolah data yang didasari fakta sejarah yang dirangkai seperti potret tragedi manusiadalam peristiwa bersejarah di Indonesia G30S/PKI 1965. Berkat penggalian data sejarah melalui pelbagai literatur, buku ini(mungkin) juga dimaksudkan sebagai pelurusan sejarah yang selama ini diduga telah diputarbalikkan — seperti yang dikemasdalam buku pelajaran sejarah untuk konsumsi sekolah formal. Untuk referensi penulis memang membaca buku sejenisMenyingkap Kabut Halim 1965,landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965, Pledoi Oemar Dani, juga buku-bukukarangan Dr H Soebandrio, AH Nasution, dll. Bahkan, menggunakan keterangan Wakil Sekjen Gerwani, Sulami.
Karena itulah, setting cerita dengan lokasi Jakarta, Yogya, Klaten, Madiun bisa dijalin dengan gamblang. Sehingga sebagai novel,karya Ngarto Februana ini enak dibaca. Dengan tebal 175 halaman, membuat orang tidak awang-awangen untuk membaca. Daribahasa yang cukup ngepop mengalirlah menjadi kalimat rancak. Penulis terasa sangat menghayati substansi novel. Hal itu bisadilihat dari nuansa emosi yang ‘dilekatkan’ pada tokoh-tokoh
Novel ini memang happy ending bagaikan kisah kumpuling balung pisah. Meski dalam ‘pertemuan keluarga’ yang dilukiskansangat haru dan bahagia itu, penulis nampak memaksakan logika. Mungkin seperti dalam sinetron atau telenovela itulah. Sebab,sang tapol (Kardjono alias Djon) yang kemudian jadi pemulung, jatuh sakit dan dirawat oleh Mirah (kebetulan anaknya), laludibawa pulang dan ketemu Lastri (istrinya)...
http://id.scribd.com/doc/6458966/Resensi-Novel-TAPOL
http://www.oocities.org/ngartofebruana/novel-lorong.htm
No comments:
Post a Comment